Mengapa
saya terlambat menyadarinya? Setelah saya menikah lalu pergi dari rumah ibu
untuk mengikuti suami, di saat itulah baru menyadari jika beliau begitu menyayangi
saya. Masih terkenang sampai sekarang, bagaimana beliau mengantarkan saya di
depan rumah kala itu. Secara tidak
sengaja saya melihat mata ibu berkaca-kaca, hidungnya memerah. Saya terhenyak.
Terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Dalam perjalanan meninggalkan rumah
ibu, tanpa terasa air mata saya tidak terbendung lagi. Begitu menyesali semua
itu. Mengapa saya terlambat menyadarinya?
Masih
teringat ketika saya masih kecil, beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun ketika
mengurus anaknya. Soal makanan, ibu menomorsatukan kandungan gizi yang akan
dikonsumsi oleh anaknya. Sering kali saya merajuk tidak mau makan sayur. Saya
tidak mengerti, mengapa ibu selalu menyuruh saya untuk makan sayur. Saya
menganggap ibu, orang yang selalu memaksakan kehendak. Apapun yang
diperintahkannya harus saya turuti. Setelah menikah dan mempunyai anak, saya
baru menyadari jika ibu melakukan semua itu karena memperhatikan tumbuh kembang
anaknya,. Beliau sayang pada anaknya, dan menginginkan semua sehat. Tapi saya
tidak pernah mengerti hal itu.
Pernah
suatu waktu, teman sebelah rumah dibelikan sepeda mini oleh orang tuanya. Saya
dan teman-teman bermain bersama dengan sepeda itu. Tanpa saya sadari, ibu
memperhatikan kami. Sorenya, ibu pergi bersama bapak ke toko sepeda. Sepulangnya
dari sana, mereka membawa sepeda mini berwarna biru yang cantik. Saya pikir,
memang sudah seharusnya orang tua
membelikan sebuah sepeda untuk
anaknya. Tapi ternyata, ibu membelikan saya sepeda karena merasa miris melihat
saya yang hanya disuruh mendorong sepeda teman. Kala itu teman yang mengendarai
sepeda, dan saya disuruh untuk terus mendorong sepeda itu mengelilingi lapangan
berkali-kali. Ibu tidak mau, saya hanya bisa berlari mendorong sepeda tanpa
pernah merasakan mengendarainya. Ibu bilang, hatinya terasa teriris melihat
saya diperlakukan seperti itu. Dan karena alasan itulah ibu membelikan saya
sepeda. Bukan karena ikut-ikutan. Karena tetangga membelikan sepeda untuk
anaknya lalu ibu ikut membelikan sepeda untuk saya. Alasan yang sebenarnya ini,
baru saya ketahui melalui cerita ibu disaat beliau menemani cucunya bermain
sepeda.
Bapak
juga pernah bercerita, jika ibu dahulunya merupakan lulusan Pendidikan Guru SMP dan bekerja sebagai seorang guru. Setelah menikah
dengan bapak, beliau rela meninggalkan tanah kelahirannya demi mengikuti bapak.
Di perantauan, ibu meneruskan profesinya sebagai seorang guru. Dan setelah
melahirkan saya, ibu memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya agar lebih fokus
untuk mengurus anak pertamanya.
Menurut
cerita bapak pula, bahwa ibu memiliki rambut yang panjang hingga betis ketika
masih gadis. Begitu banyak orang yang mengagumi rambutnya yang hitam lebat.
Tapi setelah melahirkan saya, beliau rela memotong pendek mahkota indahnya itu.
Menurut ibu, dengan rambut pendek semua kegiatan mengurus saya bisa lebih
leluasa. Dari semua cerita bapak, saya tahu jika Ibu selalu berkorban demi
saya, anak pertamanya.
“Mungkin Ibu nanti tidak
bisa mewariskan kamu harta yang banyak Nak, tapi setidaknya ibu ingin
mewariskan anak-anak ibu dengan pendidikan yang bagus. Ibu ingin mewariskan ilmu
pada kalian. Oleh karena itu belajar yang rajin, sebisa mungkin bapak dan ibu
berusaha memenuhi semua kebutuhan kalian.”
Itu
kata-kata ibu yang selalu saya ingat sampai sekarang. Menurut ibu, harta yang
banyak akan habis jika kami tidak berilmu. Kami harus pintar mengelolanya. Dan
untuk menjadi pintar mengelolanya kami harus rajin belajar. Satu hal lagi yang
ingin diwariskan oleh ibu, pendidikan agama. Dirikanlah sholat, itu yang selalu
dipesankan oleh bapak dan ibu. Menurut ibu sehebat apapun kami, hidup tidak
akan berguna bila tidak sholat! Dulu, saya suka merasa kesal, jika ibu selalu
menyuruh saya untuk sholat. Karena ibu tidak mengatakannya hanya sekali, tapi
berulangkali. Kadang saya menganggap ibu cerewet. Tapi sekarang, saya mulai
menyadari jika ibu berbuat itu karena memang ingin membiasakan kami
anak-anaknya untuk menjalankan ibadah sholat dengan baik.
Begitu
banyak perlakuan ibu untuk mencurahkan kasih sayangnya pada kami. Saya tidak
menyadari jika hati ibu seluas samudera.
Ketika masih kanak-kanak saya tidak bisa melihat betapa beliau menyayangi
anak-anaknya. Sekarang setelah merasakan menjadi seorang ibu, saya mengerti
betapa beliau begitu menyayangi kami. Semua yang dilakukannya semata-mata untuk
kebaikan masa depan kami. Layaknya samudera yang dalam, sangat sulit untuk melihat
dasarnya dengan jelas. Maafkan saya yang tidak begitu peka atas semua perlakuanmu
Bu.. Kini selagi dirimu masih ada, saya akan mencoba untuk membalas semua kasih
sayangmu. Walaupun saya menyadari, pengorbanan dan kasih sayang ibu tidak akan
pernah tertandingkan.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera
6 Comments
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
ReplyDeleteSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Terima kasih Pakdhe Cholik.
DeleteSalam hangat dari Subang
kita sadar....setelah kita dewasa dan merasa kasih sbgai seorang ibu...., rasa bakti yang belum terlambat...
ReplyDeleteYa...kenapa harus terlambat menyadarinya..? alhamdulillah sekarang beliau masih ada, hingga saya bisa terus berbakti untuknya..
DeleteSahabat tercinta,
ReplyDeleteSaya mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah mengikuti Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera di BlogCamp. Setelah membaca artikel peserta saya bermaksud menerbitkan seluruh artikel peserta menjadi buku.
Untuk melengkapi naskah buku tersebut saya mohon bantuan sahabat untuk mengirimkan profil Anda dalam bentuk narasi satu paragraf saja. Profil dapat dikirim melalui inbox di Facebook saya atau via email.
Terima kasih.
Sudah saya kirimkan via email Pakdhe...terima kasih kembali.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung dan berkomentar. Mohon maaf, untuk menghindari SPAM, komentarnya dimoderasi dulu, yaa ^~^