Dampak Emisi Karbon Terhadap Perubahan Iklim

"Lebaran nanti, kita mudik ke kampung halaman Bapak, ya!" ajak Ibu menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun ini.

Saya dan adik-adik merasa senang sekali ketika mendengar ajakan ibu untuk mudik ke Salatiga. Karena sudah lama kami tidak berkunjung ke sana. Selain karena beberapa tahun lalu simbah sudah wafat, kami juga belum bisa ke sana karena terhalang pandemi.

Dampak Emisi Karbon Terhadap Perubahan Iklim


Dan kemudian saya pun membayangkan suasana di desa kelahiran bapak yang sejuk bahkan cenderung dingin. Sebuah desa yang berada di kaki Gunung Merbabu. Mengenang rumah joglo yang terbuat dari kayu jati dengan ruangan yang besar-besar, suasana pedesaan yang asri, penduduknya yang ramah, jadi kenangan masa kecil yang tidak mudah dilupakan.

Ada lagi momen masa kecil yang paling dirindukan yaitu main air dan mandi di sungai. Sebenarnya di rumah simbah sudah ada kamar mandinya. Namun bagi saya dan adik-adik, mandi plus main air di sungai itu lebih asyik! Aliran sungainya tenang terhalang batu-batu besar dan lebar, airnya jernih, banyak mata air kecil di pinggir sungai, dan yang pasti bebas sampah! Sebuah gambaran keindahan sungai yang bisa menenangkan jiwa dan melepas rasa penat.

Alamku Tersayang yang Kini Berubah


Persiapan mudik kami lakukan dengan secermat mungkin. Selain karena kami pergi bersama seluruh keluarga besar, kami juga tidak ingin melewatkan satu pun momen menyenangkan di sana. 
Ya, pergi ke kampung bapak yang sejuk dan adem itu hal yang akan selalu kami kenang, persis seperti masa kecil kami dulu. Sudah terbayang aja, betapa senangnya bisa melipir sejenak dari hiruk-pikuk kesibukan kota dan paparan berbagai polusi yang ada di Bandung.

Looh, Bandung gak sejuk dan senyaman dulu?

Ya, dulu hawa Bandung masih adem dan udaranya sejuk. Wajar aja, ya, kalau banyak orang yang ingin pergi liburan ke Bandung. Apalagi banyak tempat wisata menarik yang dapat dijadikan tempat incaran banyak orang untuk healing.

Pada kenyataannya, kini hawa di Bandung mulai terasa panas. Gak sesejuk dulu. Kecuali di daerah pinggiran seperti Bandung bagian utara dan selatan, yang masih enak dijadikan tempat menghirup banyak oksigen segar. Kini kendaraan yang ada di Kota Bandung meningkat jumlahnya. Terutama pada hari libur, jalanan Kota Bandung penuh dengan kendaraan, baik milik warga lokal maupun wisatawan. Sekarang Bandung gak setenang dan adem seperti dulu, deh!

Mudik bersama keluarga

Oh ya, balik lagi ke cerita mudik keluarga saya, ya! Kami berangkat dengan semangat ingin menikmati Kota Salatiga yang nyaman. Namun ternyata kami mendapatkan kondisi yang tidak sama seperti dahulu. Malam pertama tidur di rumah simbah, udaranya malah terasa gerah. Padahal kami sudah mempersiapkan baju tebal, loh! 

Dulu waktu masih ada simbah, setiap pagi kami berkumpul di depan perapian untuk menghangatkan badan. Menemani simbah memasak air panas sambil bermain kayu dan tempurung kelapa yang menjadi bahan bakarnya.
Kini kegiatan pagi hari kami bisa berjalan-jalan menyusuri jalan pedesaan tanpa jaket atau baju tebal. Bahkan mandi pagi pun tanpa air hangat. Kondisi yang berbeda dengan zaman dulu. Kampung halaman bapak hawanya ternyata gak sedingin dulu.

Begitu juga dengan kondisi sungainya. Kini debit air sungainya sudah turun. Lebarnya pun berkurang seiring maraknya pengambilan pasir di sekitar pinggir sungai. Dan yang paling menyedihkan adalah banyaknya sampah yang berserakan di sungai. Saya dan adik sempat tertegun melihat kondisinya sekarang. Sungai masa kecil kami, tidak indah lagi, hiks!

Desa bapak pun sudah berubah.

Melansir dari Laporan Profil Resiko Perubahan Iklim Kota Salatiga yang memberikan data berdasarkan berbagai studi dan informasi dari BMKG dan BPPN, perubahan iklim di wilayah Salatiga diperkirakan meningkat suhunya. Rata-rata suhu di sana meningkat 0,04 derajat selsius per tahun dan juga diperkirakan adanya pergeseran puncak musim hujan yang terjadi di periode November – Januari.

Tidak hanya masalah naiknya suhu udara, di Salatiga juga ada risiko tinggi timbulnya penyakit dari vektor nyamuk. Bahkan pemerintah setempat sudah memberi perhatian khusus pada munculnya penyakit vektor serangga seperti DBD dan Cikungunya.

Sungguh disayangkan! Alam di desa kelahiran bapak ternyata hampir sama dengan di Bandung. Keduanya mengalami kenaikan suhu dan perubahan puncak musim hujan.

Perubahan Iklim di Bumi Kita


Perubahan Iklim Bumi

Naiknya suhu dan perubahan waktu musim hujan di beberapa kota seperti di Bandung dan Salatiga sebenarnya bukan hal yang normal. Semua fenomena tersebut merupakan gejala awal perubahan iklim pada bumi kita.

Berdasarkan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diungkapkan bahwa perubahan iklim tersebut merupakan akibat dari aktivitas manusia baik secara langung ataupun tidak langsung. Sehingga bisa mengubah variabilitas iklim alami dan komposisi dari atmosfer global. 
Lalu aktivitas manusia apa saja yang menyebabkan perubahan iklim?

Aktivitas Penyebab Perubahan Iklim

1. Pemanasan Global

Perubahan iklim disebabkan aktivitas pemanasan global seperti pembangkit listrik dan instalasi industri yang menghasilkan CO2. Peningkatan suhu yang terjadi rata-rata 0,85 derajat selsius lebih tinggi dibandingkan dengan akhir abad ke-19

2. Efek Rumah Kaca

Penyebab perubahan iklim juga berasal dari gas-gas rumah kaca. Banyak gas-gas yang terjadi secara alami, namun ada juga aktivitas manusia yang meningkatkan konsentrasi gas di atmosfer. Terutama metana, karbon dioksida, dinitrogen oksida dan gas berfluorinasi CO2 sebagai gas rumah kaca paling umum yang diakibatkan dari aktivitas manusia dan bertanggung jawab atas 64% pemanasan global buatan manusia.

3. Meningkatnya Emisi

Penyebab perubahan iklim selanjutnya yaitu peningkatan emisi yang diakibatkan dari aktivitas manusia. Aktivitas yang dimaksud yaitu pembakaran minyak, gas, dan batu bara yang bisa menghasilkan dinitrogen oksida dan karbon dioksida.

Kegiatan penebangan hutan juga dapat menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap CO2 dari atmosfer. Ketika pohon-pohon ditebang, karbon yang tersimpan di pohon akan dilepaskan ke atmosfer dan menambah efek rumah kaca di bumi.

Selain kegiatan penebangan, peningkatan emisi juga dipicu dari meningkatnya jumlah peternakan. Misalnya peternakan sapi dan domba yang menghasilkan metana dalam jumlah besar ketika mencerna makanan.

Dan tahukah sobat, negara kita merupakan salah satu penghasil emisi karbon terbesar?

Indonesia Sebagai Penghasil Emisi Karbon


Menurut WRI (World Resource Institute), pada tahun 2018 Indonesia menempati peringkat ke-8 sebagai penghasil emisi karbon. Miris, ya!
Padahal Indonesia memiliki hutan tropis yang besar, tetapi ternyata negara kita juga menghasilkan karbon yang tidak kalah tingginya.

Sebenarnya aktivitas apa saja yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita sehingga Indonesia menjadi penghasil karbon yang tertinggi?

Salah satu buktinya seperti cerita saya di awal, mengenai semakin banyaknya kendaraan yang ada di Kota Bandung. Pembakaran bahan bakar mesin seperti bensin, solar, LPG dan bahan bakar lainnya mengeluarkan senyawa yang mengandung karbon seperti CO2. Semakin banyak kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil, berarti semakin tinggi juga jumlah karbon yang dihasilkan.

Selain banyaknya kendaraan yang menghasilkan karbon, aktivitas yang menggunakan energi listrik, dan konsumsi makanan dan minuman juga memicu timbulnya emisi karbon. Semua aktivitas tersebut sebenarnya tidak dapat kita rasakan secara langsung tetapi berdampak hingga puluhan dan ratusan tahun ke depan.

Tak seorang pun yang mengetahui secara pasti mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Namun beberapa ahli memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk memberi gambaran tentang kondisi iklim yang akan bertambah buruk apabila manusia melakukan aktivitas menggunduli hutan, membuang-buang energi dan menggunakan sistem pertanian/peternakan yang buruk.

Lalu bagaimana caranya untuk mengetahui banyaknya karbon yang kita hasilkan setiap harinya?

Jumlah karbon tersebut bisa diketahui dengan cara menghitungnya menggunakan kalkulator karbon dari LindungiHutan. Misalnya saja, ketika saya menggunakan motor maka akan diketahui jika aktivitas tersebut menghasilkan jejak karbon sejumlah 4,82 kg setiap harinya. Cukup banyak, bukan?

Dengan mengetahui data tersebut, kita bisa memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, apabila kita tidak mengambil langkah untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan yang berdampak merusak tersebut.

Tindakan Nyata #UntukmuBumiku


Setelah merasakan langsung dampak emisi karbon yang mengakibatkan perubahan iklim, ditambah munculnya perasaan miris dengan kondisi negara kita sebagai penyumbang emisi karbon yang tinggi, saya rasa kita harus cepat bertindak. Semua kalangan masyarakat, badan pecinta lingkungan termasuk pemerintah harus bersatu untuk mewujudkan bumi lestari dan pulih lebih kuat.

Di lingkungan terkecil yaitu dalam keluarga, saya sudah berusaha untuk melakukan berbagai aktivitas untuk mengurangi emisi karbon.

1. Efisiensi Penggunaan Energi Listrik

Saya selalu mengingatkan anak-anak dan suami untuk mematikan peralatan listrik jika tidak sedang digunakan. Dalam penggunaan pendingin udara, saya dan suami juga membiasakan untuk mengatur suhu udara pada 25 derajat selsius. Karena apabila menggunakan suhu yang terlalu rendah akan membutuhkan daya listrik yang lebih tinggi. Ini bisa membuat boros energi listrik.

Begitu pula saat akan membeli peralatan listrik, kami juga akan memilih peralatan listrik yang hemat energi atau berdaya listrik yang sesuai kebutuhan.

2. Menggunakan Transportasi Umum

Apabila tidak mendesak, kami juga menyarankan anak-anak menggunakan transportasi umum. Seperti anak sulung saya yang sering menggunakan kereta api dalam kota atau bis untuk pergi ke kampus. Sedangkan suami saya juga sering kali menggunakan sepeda ketika bepergian ke tempat yang dekat.

3. Mengelola Sampah (Reduce, Reuse, Recycle)

Sudah beberapa waktu ini kami selalu berusaha memisahkan sampah atau limbah rumah tangga berdasarkan jenisnya. Limbah organik akan kami gunakan sebagai pupuk kompos. Sedangkan sampah non organik dipisahkan untuk diberikan kepada pihak yang bisa mendaur ulang atau dimanfaatkan kembali oleh kami. Misalnya menggunakan kaleng bekas cat sebagai pot tanaman.

4. Hemat Menggunakan Air

Saya dan suami selalu mengingatkan siapa saja untuk mematikan keran apabila tidak memakai air. Misalnya matikan keran saat menyikat gigi, memakai sabun saat mencuci tangan atau saat memberi sabun pada peralatan makan.

Mendaur ulang air bekas cucian untuk digunakan membersihkan lantai teras, menggunakan air bekas mencuci beras atau air bekas wudhu untuk menyiram tanaman. 

5. Mengurangi Penggunaan Plastik

Sejak isu bijak penggunaan plastik menjadi booming, saya selalu menyediakan tas kain saat berbelanja. Dan untuk mengurangi konsumsi air botol kemasan, anak-anak saya selalu membawa botol minuman dari rumah. Bahkan anak sulung saya juga menyediakan sedotan yang terbuat dari bambu dan stainless untuk menghindari penggunaan sedotan plastik.

5 Langkah Menyelamatkan Bumi


Nah, itulah beberapa tindakan kecil yang dilakukan oleh keluarga saya untuk mencegah emisi karbon. Mari #BersamaBergerakBerdaya untuk membuat bumi kita tetap lestari! Saya yakin apabila semua pihak terkait bersama-sama berusaha untuk bijak dalam kegiatan sehari-harinya, maka dampak perubahan iklim bisa ditekan. Dengan langkah kecil yang berharga, bisa berdampak besar apabila dilakukan bersama-sama.

Kebijakan Menerapkan Transportasi Hijau


Sebagai masyarakat umum, tentunya saya ingin semua pihak terkait menaruh perhatian pada kondisi lingkungan saat ini. Apabila tidak diambil tindakan yang tepat dan terarah, khawatirnya tingkat emisi karbon akan semakin meningkat. Ujung-ujungnya lingkungan bertambah rusak dan bisa berpengaruh pada kehidupan kita.

Oh ya, sekarang saya mau berandai-andai sebagai pembuat kebijakan, boleh? Boleh, dong, ya! Hehehe

Nah, seandainya saya punya kesempatan untuk membuat kebijakan yang bertujuan mengurangi mitigasi risiko perubahan iklim, saya akan menerapkan kebijakan transportasi hijau. Sebenarnya kebijakan ini sudah mulai diterapkan untuk kota besar seperti Jakarta. Namun saya juga ingin daerah-daerah lainnya juga bisa menerapkan transportasi hijau. Dengan begitu, emisi karbon bisa ditekan.

Apa transportasi hijau itu?

Yang dimaksud transportasi hijau yaitu transportasi ramah lingkungan yang tidak menghasilkan emisi karbon atau emisi gas buang sisa pembakaran.

Mengapa saya lebih fokus menggiatkan transportasi hijau? Karena jumlah kendaraan bermotor di perkotaan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai 133 juta unit (BPS, 2019). Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor berdampak meningkatnya juga emisi karbon yang dihasilkan akibat pembakaran BBM. Merujuk dari data Balitbang Kementerian Perhubungan, moda transportasi darat merupakan penyumbang 91% dari keseluruhan jumlah emisi gas rumah kaca dan karbon di sektor transportasi

Oleh karena itu, saya mendukung sekali komitmen pemerintah yang ingin mengurangi emisi karbon sebesar 11% di tahun 2030 nanti. Masyarakat sebagai pelaku pengguna transportasi harus terus diberi edukasi mengenai sistem transportasi yang ramah lingkungan dengan penggunaan energi terbantukan dan efisiensi energi.

Transportasi hijau mencegah emisi karbon


Mengenal Jenis Transportasi Hijau

Seperti telah dibahas sebelumnya, transportasi hijau ini merupakan kendaraan ramah lingkungan yang tidak menimbulkan polusi atau pencemaran serta hemat dalam penggunaan bahan bakar. Beberapa bahan bakar ramah lingkungan yang bisa digunakan dalam transportasi hijau diantaranya:

1. Energi Listrik

Transportasi yang menggunakan energi listrik dapat meminimalisir emisi karbon, apalagi bila menggunakan sumber dari tenaga angin, air, atau sel surya. Transportasi yang menggunakan energi listrik ini cocok digunakan untuk transportasi yang memiliki jalur tetap seperti kereta api listrik dan bis listrik. Bahkan saat ini juga sudah banyak tersedia mobil dan motor yang memanfaatkan energi listrik.

2. Bahan Bakar Gas

Selain memanfaatkan listrik, kini juga sudah ada beberapa kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas berupa LPG (Liquefied Petroleum Gas) dan CNG (Compressed Natural Gas). Bahan bakar gas ini sudah digunakan pada bus TransJakarta dan beberapa mobil dinas pemerintahan.

3. Bakan Bakar Nabati

Sesuai dengan namanya, bahan bakar nabati ini merupakan bahan bakar yang diolah dari bahan nabati. Contohnya minyak nabati yang berasal dari minyak kelapa sawit yang dicampurkan dengan minyak diesel (BioDiesel) dan juga minyak dari pohon jarak.

Kendaraan yang menggunakan ketiga bahan bakar ramah lingkungan tersebut sangat membantu mengurangi pencemaran emisi karbon. Sayangnya kendaraan listrik atau hibrida (gabungan listrik dan mesin mobil konvensional) di Indonesia harganya masih terbilang mahal. Tidak bisa menjangkau untuk masyarakat luas.

Lalu, apabila harga kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan tidak bisa terjangkau oleh masyarakat luas, apa yang bisa dilakukan? Tentu saja ada alternatif lain yang bisa dipilih. Berikut ini cara untuk mobilitas yang dapat menekan pencemaran emisi gas kaca atau emisi karbon.
  1. Menggunakan kendaraan dengan bahan bakar yang ramah lingkungan.
  2. Menggunakan transportasi umum. Penggunaan transportasi umum dinilai bisa menurunkan emisi karbon di sektor transportasi.
  3. Memakai sepeda atau berjalan kaki ketika bepergian. Saat ini pemerintah sudah memprioritaskan area jalan kaki dan sepeda untuk keamanan dan kenyamanan masyarakat. Selain sehat, bersepeda atau berjalan kaki juga bisa mengurangi emisi karbon hingga bisa menekan perubahan iklim
Nah apabila semua lapisan masyarakat menerapkan gaya hidup transportasi hijau, Indonesia bisa keluar dari jajaran negara yang menyumbang emisi karbon, bukan? Suhu udara akan kembali normal, puncak musim hujan berjalan seperti siklus sebelumnya, lingkungan bersih dan bisa mencegah penyebaran penyakit.

Begitulah pengalaman saya tentang perubahan iklim dan cara untuk mewujudkan bumi berdaya dan pulih lebih kuat. Bagaimana dengan sobat semua? Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar, ya!

Salam takzim

Referensi bacaan:

https://lindungihutan.com/blog/emisi-karbon/
https://www.gramedia.com/literasi/perubahan-iklim-global/
https://adaptasiklhk.id/cms/storage/files/monev/dokumenadaptasi/60792844bea21.pdf

https://blog.unnes.ac.id/nurchalimah/2015/11/26/green-transport-transportasi-hijau/
https://dephub.go.id/post/read/kemenhub-sepakati-program-g-to-g-future-cities-green-transportation

Post a Comment

14 Comments

  1. Emisi karbon memang terasa dampaknya sekarang mengingat cuaca panas yang ekstrem tapi kadang dingin juga. Perlu kesadaran dari kita penghuninya untuk mulai menjaga lingkungan dan mengurangi kebiasaan buruk. Terima kasih informasinya!

    ReplyDelete
  2. Bumi sekarang udah jauh beda banget ya, Mbak. Aku yang di desa aja ngerasin betul, apalagi yang tinggal di kota. Soal transportasi, yang umum aja masih belum oke. Belum kebayang soal transportasi hijau. Paling bantu lewat hal lain sih seperti bawa kantong belanja sendiri

    ReplyDelete
  3. mungkin sekarnag banyak dialihkan ke kendaraan dengan tenaga listrik tapi alangkah baiknya untuk jarak yang lebih dekat tetep menggunakan sepeda, pasti lebih baik lagi palagi untuk memecah kemacetan ya. Pasti bakalan lebih baik lagi

    ReplyDelete
  4. sekarang saat belanja, aku usahakan untuk membawa kantong belanjaan sendiri. Transportasi umum saat ini malah jarang aku gunakan terutama untuk angkutan dalam kota, kalau untuk kereta api masih sering jadi pilihan
    akhir-akhir ini cuaca memang nggak menentu ya mbak, polusi dimana-mana, kadang ada pabrik yang masih sembarangan buang limbah

    ReplyDelete
  5. Saat ini saya punya ciri khas bersepeda karena lebih sehat dan ramah lingkungan. Apalagi saya kan ngadep layar tiap hari, jadi kudu gerak. Bersepeda adalah cara tepat agar tetap sehat dan ramah lingkungan.

    ReplyDelete
  6. Menurut saya, kota2 yg dulunya adem sejuk sekarang tidak sepenuhnya sejuk lagi karena efek global warming ini ya. Apalagi bandung jg terkenal macet dimana2 sekarang. Malang aja yg dulunya dingin banget skrg gak terlalu dingin jg. Gak nyangka aja indonesia ternyata masuk 10 besar penghasil emisi karbon

    ReplyDelete
  7. Memang miris ya liat kondisi alam sekarang, Mbak. Di kota juga di desaku pun terjadi kerusakan yang makin mengkhawatirkan. Sawah-sawah diubah jadi kompleks perumahan, sehingga pohon kian berkurang. zaman dulu banyak pluruan alias tempat sampah mini di belakang rumah sebagai kearifan lokal, sekarang orang buangnya ke sungai. Akhirna emisi karbon makin tinggi, ke mana-mana pakai motor atau mobil.

    ReplyDelete
  8. Setuju Teh. Bandung semakin menyengat aja nih. Jemuran kalau kesiangan diangkat udah kayak kerupuk ajah. Haha...Nah iya, mobil berbahan bakar hijau masih mahal nih. Mobil listrik juga masih mikir, ngecharge-nya di mana ya?

    ReplyDelete
  9. Aku kapan hari bepergian ke daerah pedesaan mbak, eh ternyata sampah di sana jauh lebih parah drpd di perkotaan. Malah pd dibuangin di sungai dan perbukitan, sedih deh :(
    Kyknya kalau soal pengelolaan sampah masih bagus di kota, soal kesadaran masyarakat jg gak sih? #imho

    Aku pribadi lbh setuju dengan banyakin transportasi umum dan kenakan pajak tinggi buat kendaraan pribadi biar pd makai kendaraan umum aja. tapi gk tau bisa berhasil gak ya diterapkan di sini huhu

    ReplyDelete
  10. Sudah waktunya sih kita bergerak bersama buat mengatasi emisi karbon yang kian hari bikin bumi makin panas... Efeknya ke kesehatan kulit parah banget soalnya, kulitku pada kering ngelupas padahal sudah pakai sunscreen 🥲

    ReplyDelete
  11. Sekarang di Bandung mulai banyak yang menggunakan mobil listrik ya, teh..
    Amazing karena ternyata banyak yang sadar mengenai buruknya emisi karbon ini untuk lingkungan. Semoga INdonesia segera bisa memfasilitasi energi listrik non-fossil, sehingga bener-bener terwujud zero emission di muka bumi ini.

    ReplyDelete
  12. Menurutku isu perubahan iklim ini memang menjadi concern bersama, dan untuk memberikan dampak lebih besar, dari pihak pemerintah alangkah lebih baik juga menerapkan kebijakan-kebijakan hijau ini. Jangan sampai nunggu krisis dulu baru ada penanganan, misalnya krisis lahan utk sampah, dsb. Kalau tidak, kondisi bumi nanti makin lama makin memprihatinkan.

    ReplyDelete
  13. Iya ya, sekarang di desa-desa pun tak sesejuk dan seasri dulu. Kalau malam enggak dingin lagi seperti dulu. Yang ada gerah..
    Memang kita perlu bersama-sama melakukan langkah-langkah kecil untuk menyelamatkan bumi ya, Mbak.

    ReplyDelete
  14. Kalau Bandung saja yg selalu dikangeni karena kesejukannya, sekarang sudah mulai serasa panas, bagaimana dengan kotaku yg sedari dulu panasnya minta ampun. Ini semua akibat dari lingkunagn yg berubah terutama efek yang ditimbulkan dari emisi karbon yg semakin meningkat.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar. Mohon maaf, untuk menghindari SPAM, komentarnya dimoderasi dulu, yaa ^~^