Fenomena tersebut menjadi salah satu fokus perhatian IKAPI Jawa Barat dan Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) yang kemudian menggagas acara seminar dan workshop tentang trend digital print. Acara yang digelar di El Hotel Bandung ini terasa istimewa karena menghadirkan banyak sosok penting dari dunia literasi dan grafika.
Hadir sebagai pembicara utama, Prof. Dr. Purnomo Ananto, MM., yang menyampaikan pandangan inspiratifnya. Suasana semakin lengkap dengan kehadiran Drs. Mahpudi, MT., Ketua IKAPI Jabar, serta Ahmad Mughira Nurhani, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI). Dari kalangan praktisi, ada Herich Raozen, owner Cronos Digiprint, dan Galih Kinanthi W.J. dari PT. Samafitro Jabar, yang berbagi pengalaman langsung tentang perkembangan teknologi cetak digital. Kehadiran mereka membuat acara ini tidak hanya informatif, tetapi juga penuh inspirasi bagi para peserta.
Jika menengok realitas lapangan, industri perbukuan menghadapi sejumlah tantangan yang tidak ringan. Beberapa di antaranya adalah:
Kondisi dan Masa Depan Industri Perbukuan Indonesia
Jika menengok realitas lapangan, industri perbukuan menghadapi sejumlah tantangan yang tidak ringan. Beberapa di antaranya adalah:
1. Banyak Penerbit yang Mati Suri
Tidak sedikit penerbit kecil hingga menengah gulung tikar. Penyebabnya cukup beragam: penjualan buku yang merosot, tingginya biaya produksi, hingga menurunnya minat baca masyarakat. Akibatnya, banyak penerbit yang memilih berhenti beroperasi atau hanya menerbitkan buku sesekali.2. Daya Baca Masyarakat Masih Rendah
Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal literasi dibanding negara lain. Buku belum menjadi kebutuhan utama, bahkan sering kalah bersaing dengan gawai, media sosial, dan hiburan digital. Padahal, membaca buku adalah salah satu cara membangun kualitas berpikir dan wawasan masyarakat.3. Minat Beli Buku Rendah
Meski harga buku relatif terjangkau, banyak orang lebih memilih menghabiskan uangnya untuk hiburan lain. Ditambah lagi, kebiasaan membaca yang rendah membuat toko buku sepi pengunjung. Tidak heran, beberapa toko buku besar di Indonesia juga mulai menutup cabangnya.4. Kemampuan Menulis yang Terbatas
Buku yang bagus lahir dari penulis yang berkualitas. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang memiliki ide hebat tetapi kesulitan menuangkannya ke dalam tulisan yang rapi dan layak terbit. Akibatnya, pasokan naskah berkualitas pun terbatas.5. Hadirnya Teknologi Penerbitan Canggih
Di tengah semua tantangan tadi, ada satu sisi positif: teknologi. Kini penerbit tidak hanya bergantung pada mesin cetak besar. Digital printing, platform self-publishing, e-book, hingga audiobook membuat penerbitan lebih murah, cepat, dan mudah diakses siapa pun. Inilah peluang besar yang sebenarnya bisa dimanfaatkan.Gagasan Pengembangan Industri Perbukuan
Meski tantangan terasa berat, bukan berarti jalan buntu. Justru kondisi ini bisa menjadi pemicu munculnya berbagai inovasi. Beberapa gagasan yang bisa dikembangkan antara lain:1. Menghadirkan Model Bisnis Baru
Dunia perbukuan sedang mengalami perubahan besar. Kalau dulu penerbit hanya fokus mencetak buku dan mendistribusikannya ke toko-toko, sekarang model bisnisnya jauh lebih beragam. Persaingan, teknologi, dan perubahan gaya hidup pembaca membuat penerbit harus lebih kreatif dalam membangun strategi.Mari kita lihat beberapa aspek penting dalam model bisnis baru di industri buku:
Membership IKAPI
Menjadi bagian dari asosiasi seperti IKAPI bukan sekadar status, tapi juga pintu masuk ke jejaring luas. Membership memberi akses ke pameran buku, peluang kerjasama, hingga perlindungan bagi penerbit. Ini bisa menjadi fondasi yang memperkuat kredibilitas bisnis perbukuan.
Sifat Bisnis
Apakah bisnis perbukuan yang dijalankan bersifat komersial murni, sosial, atau gabungan keduanya? Menentukan sifat bisnis sejak awal membantu penerbit mengarahkan strategi, entah untuk mencari profit, mengedukasi, atau memperkuat literasi bangsa.
Apakah bisnis perbukuan yang dijalankan bersifat komersial murni, sosial, atau gabungan keduanya? Menentukan sifat bisnis sejak awal membantu penerbit mengarahkan strategi, entah untuk mencari profit, mengedukasi, atau memperkuat literasi bangsa.
Alokasi Sumber Daya
Tidak bisa dipungkiri, sumber daya adalah kunci. Mulai dari tenaga editor, penulis, desainer, hingga teknologi percetakan. Alokasi yang tepat akan menentukan efisiensi dan kualitas produk buku yang dihasilkan.
Skala Usaha
Ada penerbit besar dengan ribuan judul, ada pula penerbit indie dengan segmen khusus. Keduanya sah-sah saja. Yang penting, skala usaha disesuaikan dengan target pasar dan kemampuan pengelolaan.
Bentuk Organisasi Bisnis
Apakah berbentuk PT, CV, koperasi, atau komunitas penerbitan? Struktur organisasi akan memengaruhi fleksibilitas dan daya saing.
Teknologi Penerbitan
Inilah faktor yang sekarang sangat menentukan. Digital printing, e-book, audio book, hingga platform daring membuat penerbit harus adaptif. Teknologi bukan lagi pelengkap, tapi tulang punggung bisnis modern.
Inilah faktor yang sekarang sangat menentukan. Digital printing, e-book, audio book, hingga platform daring membuat penerbit harus adaptif. Teknologi bukan lagi pelengkap, tapi tulang punggung bisnis modern.
Fokus Pasar
Tidak semua buku harus masuk pasar massal. Ada yang memilih fokus ke buku anak, buku akademik, buku agama, atau buku motivasi. Semakin tajam fokus pasar, semakin mudah membangun brand penerbit.
Tidak semua buku harus masuk pasar massal. Ada yang memilih fokus ke buku anak, buku akademik, buku agama, atau buku motivasi. Semakin tajam fokus pasar, semakin mudah membangun brand penerbit.
Jangkauan Usaha
Apakah hanya lokal, nasional, atau go international? Di era digital, jangkauan tidak lagi terbatas. Buku bisa dipasarkan lewat marketplace, toko buku daring, bahkan platform global.
Outlet Produk
Toko buku fisik masih ada, tapi sekarang ditambah dengan marketplace, e-commerce, hingga penjualan langsung lewat media sosial. Outlet produk yang beragam memberi peluang lebih besar untuk menjangkau pembaca.
Toko buku fisik masih ada, tapi sekarang ditambah dengan marketplace, e-commerce, hingga penjualan langsung lewat media sosial. Outlet produk yang beragam memberi peluang lebih besar untuk menjangkau pembaca.
Konten Penerbitan
Pada akhirnya, konten tetap jadi raja. Buku yang berkualitas akan selalu dicari. Penerbit harus jeli memilih naskah yang relevan, menarik, dan sesuai kebutuhan pasar.
2. Diversifikasi Format Buku
Kalau dulu buku hanya identik dengan kertas dan sampul tebal, sekarang dunia perbukuan sudah jauh lebih berwarna. Kehadiran teknologi membuat format buku semakin beragam. Inilah yang disebut dengan diversifikasi format buku. Dengan adanya pilihan ini, pembaca bisa menikmati ilmu dan cerita sesuai gaya hidupnya masing-masing.Buku Digital (E-Book)
Format ini paling populer di era gawai. Praktis, ringan, dan bisa dibawa ke mana saja hanya dengan smartphone atau tablet. Buku digital jadi pilihan pas buat mereka yang suka mobilitas tinggi atau tidak mau ribet dengan tumpukan buku fisik di rak.
Audio Buku
Buat yang lebih suka mendengar daripada membaca, audio book adalah jawabannya. Cukup pasang earphone, kita bisa "membaca" sambil olahraga, memasak, bahkan saat macet di jalan. Format ini makin digemari karena memberikan pengalaman berbeda: buku bisa dinikmati kapan saja, bahkan sambil melakukan aktivitas lain.
Multimedia Buku
Nah, ini cocok untuk generasi visual dan interaktif. Buku multimedia biasanya diperkaya dengan gambar bergerak, animasi, atau video. Tidak hanya sekadar teks, tapi juga pengalaman membaca yang lebih hidup. Cocok untuk buku pelajaran, cerita anak, atau konten kreatif.
Buku Online
Berbeda dengan e-book, buku online biasanya hanya bisa diakses lewat platform tertentu. Format ini memudahkan distribusi karena tidak perlu diunduh, cukup login dan baca langsung di browser atau aplikasi. Praktis banget untuk pembaca yang ingin akses cepat tanpa memenuhi memori perangkat.
Berbeda dengan e-book, buku online biasanya hanya bisa diakses lewat platform tertentu. Format ini memudahkan distribusi karena tidak perlu diunduh, cukup login dan baca langsung di browser atau aplikasi. Praktis banget untuk pembaca yang ingin akses cepat tanpa memenuhi memori perangkat.
Print On Demand
Format cetak ternyata tidak ditinggalkan, hanya saja lebih efisien. Print on demand memungkinkan buku dicetak sesuai pesanan. Tidak perlu cetak ribuan eksemplar dulu, cukup beberapa sesuai kebutuhan. Ini solusi yang paling ramah biaya untuk penulis maupun penerbit kecil.
Diversifikasi format buku adalah bukti bahwa dunia literasi terus berkembang mengikuti zaman. Tidak ada lagi alasan untuk tidak membaca, karena sekarang kita bisa memilih: mau baca teks, dengar audio, lihat multimedia, atau tetap setia dengan buku cetak. Semua kembali pada satu hal: cintai ilmu, nikmati cerita, dengan format yang paling cocok buat kita.
3. Menciptakan Pasar Baru
Industri perbukuan tidak bisa hanya mengandalkan pasar yang itu-itu saja. Seiring perubahan zaman, penerbit dan penulis harus lebih kreatif dalam menemukan pasar baru. Kalau tidak, buku bisa semakin terpinggirkan oleh gempuran konten digital yang cepat dan instan.Lalu, pasar baru apa saja yang bisa dijelajahi dunia perbukuan?
Pasar Konvensional
Ini pasar yang sudah lama ada: toko buku fisik, pameran, hingga penjualan langsung lewat distributor. Meski kelihatannya klasik, pasar konvensional tetap penting. Banyak orang masih suka sensasi memilih buku di rak toko, membuka lembarannya, dan merasakan aroma khas kertas.
Ini pasar yang sudah lama ada: toko buku fisik, pameran, hingga penjualan langsung lewat distributor. Meski kelihatannya klasik, pasar konvensional tetap penting. Banyak orang masih suka sensasi memilih buku di rak toko, membuka lembarannya, dan merasakan aroma khas kertas.
Pasar Individual
Sekarang, semakin banyak orang yang ingin buku sesuai kebutuhan pribadinya. Misalnya buku custom untuk hadiah, buku kenangan, atau edisi terbatas. Pasar individual ini potensial karena lebih personal dan punya nilai emosional yang tinggi.
Sekarang, semakin banyak orang yang ingin buku sesuai kebutuhan pribadinya. Misalnya buku custom untuk hadiah, buku kenangan, atau edisi terbatas. Pasar individual ini potensial karena lebih personal dan punya nilai emosional yang tinggi.
Pasar Kontemporer
Inilah pasar yang muncul karena tren zaman. Misalnya, buku digital di platform online, audio book, atau kolaborasi dengan influencer yang punya komunitas pembaca. Pasar ini sangat dinamis dan bisa berkembang pesat karena dekat dengan gaya hidup generasi muda.
Pasar Pemerintah
Pasar ini tidak kalah penting. Pemerintah sering membeli buku untuk kebutuhan pendidikan, perpustakaan, atau program literasi nasional. Bagi penerbit, menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah bisa menjadi pasar yang stabil dan berjangka panjang.
Menemukan pasar baru bukan berarti meninggalkan pasar lama, melainkan memperluas peluang. Dari pasar konvensional yang tetap eksis, pasar individual yang lebih personal, pasar kontemporer yang kekinian, hingga pasar pemerintah yang stabil — semuanya bisa digarap bersama.
Dengan strategi tepat, buku akan tetap hidup di tengah perubahan zaman, dan dunia literasi bisa semakin berkembang.
Pasar ini tidak kalah penting. Pemerintah sering membeli buku untuk kebutuhan pendidikan, perpustakaan, atau program literasi nasional. Bagi penerbit, menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah bisa menjadi pasar yang stabil dan berjangka panjang.
Menemukan pasar baru bukan berarti meninggalkan pasar lama, melainkan memperluas peluang. Dari pasar konvensional yang tetap eksis, pasar individual yang lebih personal, pasar kontemporer yang kekinian, hingga pasar pemerintah yang stabil — semuanya bisa digarap bersama.
Dengan strategi tepat, buku akan tetap hidup di tengah perubahan zaman, dan dunia literasi bisa semakin berkembang.
4. Kolaborasi dengan Gerakan Literasi Lokal
Gerakan literasi di Indonesia tidak bisa berjalan sendirian. Membaca, menulis, dan mencintai buku bukan hanya urusan sekolah atau perpustakaan, tapi sudah menjadi kerja kolektif. Di sinilah pentingnya kolaborasi ABG — Akademisi, Bisnis, dan Government (pemerintah) — untuk mendukung Gerakan Literasi Lokal.Peran Pemerintah
Pemerintah punya kuasa dalam kebijakan. Dengan dukungan regulasi, anggaran, dan program nyata, literasi bisa berkembang lebih luas. Misalnya dengan menyediakan perpustakaan desa, membeli buku dari penerbit lokal untuk distribusi ke sekolah, atau mengadakan festival literasi di daerah.
Peran Asosiasi dan Penerbit
Penerbit, asosiasi, dan para pelaku bisnis buku berperan penting dalam menyediakan konten berkualitas. Tanpa buku yang relevan dan menarik, gerakan literasi akan berjalan setengah hati. Penerbit lokal juga bisa berkolaborasi dengan komunitas untuk mencetak buku sesuai kebutuhan daerahnya.
Penerbit, asosiasi, dan para pelaku bisnis buku berperan penting dalam menyediakan konten berkualitas. Tanpa buku yang relevan dan menarik, gerakan literasi akan berjalan setengah hati. Penerbit lokal juga bisa berkolaborasi dengan komunitas untuk mencetak buku sesuai kebutuhan daerahnya.
Peran Akademisi
Akademisi — dosen, peneliti, guru — menjadi motor penggerak dalam produksi pengetahuan. Mereka bisa menulis, membimbing penulis muda, hingga melakukan riset untuk memperkuat kualitas literasi lokal. Kehadiran akademisi membuat gerakan literasi lebih berbasis ilmu, bukan sekadar semangat.
Gerakan Literasi Lokal Sebagai Penghubung
Gerakan literasi lokal adalah jembatan yang menyatukan ketiga elemen tadi. Komunitas literasi biasanya lebih dekat dengan masyarakat, lebih tahu kebutuhan nyata di lapangan, dan punya cara kreatif untuk mengajak orang membaca.
Kolaborasi ABG dengan gerakan literasi lokal bisa menjadi energi besar untuk membangun bangsa. Pemerintah memberi regulasi, penerbit menghadirkan konten, akademisi menguatkan keilmuan, dan komunitas literasi menyalurkan semua itu ke masyarakat.
Literasi bukan hanya soal membaca buku, tapi tentang membuka akses pengetahuan, memperluas wawasan, dan mencetak generasi yang kritis sekaligus kreatif. Dengan kolaborasi, cita-cita itu bisa lebih cepat terwujud.
Akademisi — dosen, peneliti, guru — menjadi motor penggerak dalam produksi pengetahuan. Mereka bisa menulis, membimbing penulis muda, hingga melakukan riset untuk memperkuat kualitas literasi lokal. Kehadiran akademisi membuat gerakan literasi lebih berbasis ilmu, bukan sekadar semangat.
Gerakan Literasi Lokal Sebagai Penghubung
Gerakan literasi lokal adalah jembatan yang menyatukan ketiga elemen tadi. Komunitas literasi biasanya lebih dekat dengan masyarakat, lebih tahu kebutuhan nyata di lapangan, dan punya cara kreatif untuk mengajak orang membaca.
Kolaborasi ABG dengan gerakan literasi lokal bisa menjadi energi besar untuk membangun bangsa. Pemerintah memberi regulasi, penerbit menghadirkan konten, akademisi menguatkan keilmuan, dan komunitas literasi menyalurkan semua itu ke masyarakat.
Literasi bukan hanya soal membaca buku, tapi tentang membuka akses pengetahuan, memperluas wawasan, dan mencetak generasi yang kritis sekaligus kreatif. Dengan kolaborasi, cita-cita itu bisa lebih cepat terwujud.
Menuju Masa Depan Industri Perbukuan
Industri perbukuan Indonesia memang sedang diuji. Namun, di balik tantangan selalu ada peluang. Dengan kreativitas, teknologi, dan kolaborasi, industri ini tetap bisa berkembang.Buku masih punya peran penting sebagai sumber ilmu, inspirasi, dan hiburan. Masyarakat hanya perlu disuguhi cara baru untuk menikmatinya—lebih mudah, lebih menarik, dan sesuai kebutuhan zaman.
Jika penerbit, penulis, pemerintah, dan komunitas literasi bisa bergerak bersama, bukan tidak mungkin industri perbukuan Indonesia justru akan melahirkan era baru: era literasi yang lebih kuat, merata, dan berdaya saing global.
Jadi, bagaimana menurut sobat? Apakah buku cetak masih akan bertahan lama, atau masa depan literasi kita akan sepenuhnya beralih ke digital?
Industri Buku di Lingkup Pendidikan Tinggi
Industri buku di lingkup pendidikan tinggi, punya dinamika yang menarik. Ada semangat besar untuk menghasilkan karya, tetapi juga ada tantangan yang tidak bisa diabaikan. Mulai dari ego sektoral antar kampus, persoalan harga produksi, hingga hadirnya teknologi baru seperti digital printing dan kecerdasan buatan (AI). Semua ini membentuk wajah ekosistem perbukuan kita hari ini.Salah satu fenomena yang sering ditemui adalah masih adanya ego sektoral antar kampus. Beberapa institusi pendidikan tinggi enggan menggunakan buku terbitan kampus lain. Seolah-olah buku hanya sah dipakai jika berasal dari “rumah sendiri”.
Padahal, hakikat ilmu pengetahuan bersifat universal. Buku bukan hanya soal siapa penulisnya atau berasal dari kampus mana, tetapi lebih pada isi, kualitas, dan relevansinya bagi mahasiswa. Jika setiap kampus mau lebih terbuka, tentu pertukaran pengetahuan akan lebih sehat dan luas.
Namun, potensi besar tetap ada. Jika motivasi akademik ini bisa diimbangi dengan kesungguhan menulis untuk pembaca, kualitas buku akademik Indonesia akan semakin meningkat.
Digital Printing dan Tren Print on Demand
Di tengah kebutuhan mendesak untuk menerbitkan buku dalam jumlah terbatas, teknologi digital printing hadir sebagai solusi. Proses cetaknya sederhana: file naskah (biasanya PDF) dikirim ke mesin cetak digital, lalu langsung dicetak ke kertas menggunakan toner atau tinta, dipotong, dan dijilid menjadi buku fisik.Tren ini dikenal dengan istilah Print on Demand (POD). Keunggulannya:
- Tidak perlu mencetak ribuan eksemplar.
- Bisa mencetak sesuai kebutuhan, bahkan satu buku saja.
- Biaya lebih efisien untuk oplah kecil.
- Waktu produksi lebih cepat.
Salah satu masalah klasik dalam dunia perbukuan adalah harga produksi, terutama harga kertas. Ketika harga kertas naik, biaya produksi ikut membengkak, dan akhirnya harga jual buku jadi tinggi.
Akibatnya, mahasiswa atau pembaca umum merasa buku akademik semakin sulit dijangkau. Di sinilah pentingnya inovasi: penerbit, percetakan, dan komunitas literasi perlu mencari strategi agar buku tetap bisa hadir dengan harga yang ramah di kantong tanpa mengorbankan kualitas.
Akibatnya, mahasiswa atau pembaca umum merasa buku akademik semakin sulit dijangkau. Di sinilah pentingnya inovasi: penerbit, percetakan, dan komunitas literasi perlu mencari strategi agar buku tetap bisa hadir dengan harga yang ramah di kantong tanpa mengorbankan kualitas.
AI dalam Dunia Penulisan Buku
Selain soal cetak-mencetak, kini hadir fenomena baru yang tak bisa dihindari: Artificial Intelligence (AI). Kehadiran AI memberi warna baru dalam proses penulisan dan penerbitan buku.Fungsi Utama AI yaitu:
- Menghasilkan ide: membantu penulis menemukan gagasan baru.
- Membuat garis besar (outline): merancang kerangka buku sebelum ditulis lebih lanjut.
- Menulis draft dan penyempurnaan: mempercepat proses penulisan, baik fiksi maupun nonfiksi.
- Analisis dan riset: mengumpulkan data, membaca tren pasar, hingga menyusun konten berdasarkan informasi terkini.
- Desain sampul buku: beberapa tool AI bahkan bisa menghasilkan desain sampul dalam hitungan menit.
- Platform seperti Simplified, Squibler, Gravitywriter, dan Aithor AI sudah mulai digunakan penulis di berbagai negara, termasuk Indonesia.
AI dalam Perguruan Tinggi
Bagi dunia kampus, AI juga membawa dampak signifikan. Banyak penelitian menunjukkan aplikasi AI dapat membantu dosen dan mahasiswa:- Mempercepat penyusunan materi kuliah.
- Membantu riset dengan analisis data.
- Menyusun artikel akademik atau buku ajar.
Etika dan Hak Cipta dalam Penggunaan AI
Penggunaan AI dalam menulis buku tetap perlu hati-hati. Penting bagi penulis dan penerbit untuk:- Menjaga orisinalitas karya.
- Memastikan konten tidak melanggar hak cipta.
- Menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti kreativitas manusia.
Peran ITB Press dalam Trend Cetak Buku
Mengakhiri acara seminar dan workshop Trend Digital Print Publishing 2026, kami peserta seminar diajak berkunjung ke ITB Press Store dan workshop. Bapak Edi Wahyu Sri Mulyono sebagai komisaris ITB Press menyambut kami dan memberikan penjelasan mengenai perkembangan ITB Press sejak pertama kalinya berdiri. Di ITB Press Store terpampang berbagai hasil karya ITB Press baik berupa buku, diktat, Ganeshirt dan souvenir lainnya yang dibuat menggunakan mesin cetak digital.ITB dan Kiprahnya dalam Penerbitan Buku dengan Mesin Cetak Digital
Belum banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki penerbitan mandiri dan dikelola secara serius. Di tengah tantangan ekosistem perbukuan yang penuh dinamika, Institut Teknologi Bandung (ITB) tampil sebagai salah satu kampus yang menaruh perhatian besar pada dunia penerbitan. Melalui unit penerbitannya, ITB bukan hanya menerbitkan buku-buku karya dosen dan akademisi, tetapi juga mengelola proses produksi dengan mengandalkan mesin cetak digital.Mandiri dalam Produksi Pengetahuan
Kehadiran penerbitan kampus seperti ITB Press menjadi langkah strategis. Pasalnya, banyak karya ilmiah, hasil riset, hingga buku ajar dosen yang perlu segera dipublikasikan agar bisa dimanfaatkan mahasiswa maupun masyarakat luas. Dengan memiliki penerbitan sendiri, ITB tidak perlu menunggu proses panjang di penerbit eksternal. Hasil riset bisa segera dikemas dalam bentuk buku, lalu didistribusikan sesuai kebutuhan.Efisiensi dengan Mesin Cetak Digital
Salah satu keunggulan ITB Press adalah penggunaan mesin cetak digital. Teknologi ini memungkinkan proses pencetakan buku menjadi lebih cepat, fleksibel, dan ekonomis. Alih-alih mencetak ribuan eksemplar sekaligus, mesin cetak digital mendukung model Print on Demand (POD), yakni mencetak sesuai jumlah yang dibutuhkan. Misalnya, ketika hanya dibutuhkan 50 eksemplar untuk sebuah mata kuliah, penerbitan kampus dapat segera melayaninya tanpa harus menanggung biaya produksi besar.Menjawab Tantangan Ekosistem Buku
Langkah ITB Press ini sekaligus menjadi jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi dunia penerbitan nasional, seperti harga kertas yang semakin tinggi, biaya produksi yang mahal, hingga keterbatasan distribusi. Dengan sistem penerbitan internal, buku-buku karya akademisi bisa sampai ke tangan mahasiswa dengan harga lebih terjangkau. Bahkan, kualitas konten lebih terjamin karena langsung melalui proses seleksi dan penyuntingan akademis.Inspirasi bagi Kampus Lain
Model yang dijalankan ITB seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi perguruan tinggi lain di Indonesia. Bayangkan, jika setiap kampus memiliki penerbitan mandiri dengan dukungan mesin cetak digital, akan lahir ribuan buku baru setiap tahun yang lahir dari riset dan pemikiran akademisi. Hal ini tentu akan memperkuat ekosistem literasi dan memperkaya khazanah pengetahuan bangsa.Harapan untuk Ekosistem Perbukuan Indonesia
Prof. Dr. Purnomo Ananto, MM, menegaskan pentingnya peran berbagai pihak—mulai dari IKAPI, PPGI, hingga pegiat literasi—untuk mendorong ekosistem perbukuan agar lebih maju. Kolaborasi adalah kunci.Bayangkan jika kampus tidak lagi terkungkung ego sektoral, penerbit lebih kreatif menyiasati harga produksi, dan teknologi seperti digital printing serta AI dimanfaatkan secara bijak. Hasilnya? Buku akan lebih mudah diakses, harga lebih terjangkau, dan kualitas semakin meningkat.
Ekosistem perbukuan Indonesia memang penuh tantangan, tapi juga kaya peluang. Dari cetak buku berbasis Print on Demand hingga pemanfaatan AI, semua bisa menjadi jalan menuju masa depan literasi yang lebih cerah.
Buku bukan sekadar tumpukan kertas. Ia adalah jembatan ilmu, warisan untuk generasi, dan cahaya yang menuntun peradaban. Dengan kerja sama, kreativitas, dan keterbukaan, kita bisa menjadikan ekosistem perbukuan di Indonesia lebih sehat, inklusif, dan berdaya saing.
Salam takzim
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar. Mohon maaf, untuk menghindari SPAM, komentarnya dimoderasi dulu, yaa ^~^