Ibu melahirkan (health.detik.com) |
Kakakku itu orangnya sangat ramah
dan periang. Dia selalu bisa bersikap baik kepada semua orang. Asuhan bapak
yang membuat kami, semua anaknya untuk selalu berbuat baik kepada setiap orang.
Kami mendapat didikan keras dari beliau. Bekerja sama membereskan rumah, sampai
ke pojok-pojok yang tidak pernah terjangkau pun harus kami lakukan. Sebenarnya
bapak sangat menyayangi anak-anak perempuannya. Oleh karena itu, kami selalu diajarkan
untuk bisa mandiri di segala hal.
Sedangkan kepada anak-anak lelaki,
bapak cenderung tidak melakukan hal sama. Barangkali karena ibu kami yang
terlihat lebih memanjakan anak-anak
lelakinya, membuat kakak-kakakku itu tidak merasakan disiplinnya ajaran bapak.
Ibu selalu tidak setuju jika bapak bersikap keras atau tegas terhadap anak
laki-lakinya. Tapi ibu tidak pernah melarang bapak melakukan itu, terhadap kami
anak perempuannya.
Kerasnya didikan bapak, meliputi
semua hal termasuk perihal asmara. Bapak tidak pernah mengijinkan anak-anaknya
untuk berpacaran sebelum lulus sekolah. Terutama anak perempuan beliau. Hal ini
yang menyebabkan kakakku memilih berpacaran dengan seorang pemuda secara
diam-diam. Kakakku yang kala itu sudah lulus dari SMEA, mulai mengenal sosok pemuda
bernama Andi. Pemuda itu terkenal santun dan gemar membantu. Wajar saja jika gadis-gadis
di daerah kami begitu menggemarinya. Beruntung, dari banyak gadis yang ada,
Andi lebih memilih kakakku.
Senang dan bangga menjadi kekasih
seorang pegawai swasta, tidak lantas membuat kakakku mengenalkan Andi kepada
keluarga kami. Larangan bapak yang tidak memperbolehkan kami untuk berpacaran,
membuat kakak menjalani hubungan itu secara sembunyi-sembunyi. Setamatnya dari
SMEA, kakakku meneruskan kuliah di luar kota. Karena jarak antara rumah dan
kampus yang begitu jauh, kakakku memilih untuk menyewa satu kamar di dekat
kampusnya.
Suatu ketika, rasa kangen yang
mendera membawa diriku untuk mendatangi kakak di kamar kosnya. Hani, kakakku
yang lembut itu melayani semua kebutuhanku dengan penuh kasih sayang. Ketika Hani
pergi keluar untuk menyiapkan makan siangku, tanpa sengaja kutemukan sesuatu
yang membuatku sangat miris. Betapa tidak, kutemukan alat tes kehamilan di
sela-sela buku milik Hani. Hasilnya menunjukkan jika kakakku sedang dalam
keadaan hamil. Lemas sudah tubuhku. Terbayang bagaimana nanti reaksi bapak dan
ibu. Lalu bagaimana pula masa depan kakakku nanti? Aku tahu bagaimana bapak
rela bekerja keras hanya untuk berusaha menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang
pendidikan yang tinggi. Apa yang nanti terjadi, jika bapak mengetahui hal ini?
Akhirnya aku hanya bisa menangis sendiri, memikirkan apa yang akan bapak
lakukan setelah mengetahui hal ini.
Andi memang pemuda yang baik dan mau
bertanggung jawab. Mengetahui kekasihnya telah berbadan dua, dia berniat untuk
datang melamar. Tapi apa yang terjadi? Bapak menolak mentah-mentah lamaran
Andi. Rombongan yang datang dengan membawa seserahan itu tidak diterima oleh
bapak. Keinginan bapak agar anak-anaknya menyelesaikan sekolah ke jenjang
pendidikan yang tinggi, membuat bapak tidak mengijinkan anaknya menikah ketika
masih sekolah. Bapak tidak mengetahui jika putrinya kini berbadan dua. Kakakku
tidak berani mengungkapkan kenyataan mengenai dirinya kepada bapak.
Sepulang dari acara lamaran
tersebut, Andi dikabarkan jatuh sakit. Penyakit yang diderita oleh Andi begitu
serius. Dia divonis menderita radang otak. Hani begitu sangat terpukul. Tapi
dengan sabar diterimanya semua kenyataannya itu. Kakakku dengan telaten mendampingi kekasih hatinya itu
di rumah sakit. Setelah Andi menjalani perawatan di rumah sakit selama 3 bulan,
bapak akhirnya mengijinkan mereka untuk menikah. Begitu mengetahui anaknya
telah berbadan dua, hati bapak pun luluh. Kakakku akhirnya resmi dipinang oleh
Andi. Senang bercampur sedih dirasakan oleh Hani. Karena harus menjalani
peristiwa yang sakral tersebut di rumah sakit.
Perut Hani yang semakin membesar
tidak mengurangi kesetiaan sebagai seorang istri untuk merawat suaminya yang
sedang sakit. Pada tujuh bulan kehamilannya, Hani harus dihadapkan oleh suatu
kenyataan pahit. Tuhan memanggil suami tercintanya. Aku sangat mengerti
bagaimana perasaan kakakku itu. Diantara 5 bersaudara, kami memang saudara yang
paling akrab. Sering kutemui kakakku menangis menyesali keadaannya. Menyadari
jika anak yang dikandungnya akan segera dilahirkan tanpa kehadiran bapak
kandungnya.
Akhirnya hari yang ditunggupun tiba.
Genap sembilan bulan usia kehamilannya Hani mengalami tanda-tanda melahirkan. Dia
mengalami mulas-mulas selama 2 hari. Kakakku menjadi panik ketika melihat
kepala bayinya itu sudah muncul di jalan lahir. Tapi tidak ada sedikitpun
cairan yang keluar dari rahimnya. Keadaan ini membuat kami sekeluarga mengambil
tindakan untuk membawanya ke rumah sakit. Di sana, dokterpun membantu kelahiran
bayi laki-laki itu dengan cara di vakum.
Sepulang dari rumah sakit, keadaan Hani
menjadi sedikit berbeda. Dia sering terlihat suka marah-marah sendiri. Ivan,
bayi mungil itu memang sering mengompol. Mungkin hal itu terjadi karena cuaca
di daerah kami yang dingin. Terlalu seringnya kegiatan mengganti popok membuat Hani
uring-uringan sendiri. Pernah aku mendengar kakakku itu seperti yang sedang
berbicara dengan almarhum suaminya. Dia begitu menyalahkan Andi, meninggalkan
dirinya dengan seorang bayi mungil yang menurutnya begitu merepotkan. “Kenapa
aku harus melalui ini sendiri? Teganya kamu Andi, meninggalkan kami berdua.
Tidakkah kamu lihat, betapa repotnya aku sekarang?’ omel kakakku sambil
mengganti popok Ivan yang basah. “Kamu enak saja pergi dari kami. Kalau saja
aku tidak mengenalmu, semua yang merepotkan ini tidak akan aku alami.” Sambung
Hani dengan mata yang mulai dipenuhi genangan air mata. Seperti biasanya, apabila
telah selesai menumpahkan apa yang ada di hatinya, Hani akan menangis
tersedu-sedu sendiri.
Ivan yang masih merah, tentu saja
tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan segala keinginannya. Yang bisa
dilakukan hanya menangis dan menangis saja. Ini membuat Hani begitu kesal. Yang
dilakukan kakakku itu hanya mengomel saja. Begitu seringnya kami dapati, Hani
berbicara sendiri seolah-olah suaminya ada di hadapan kakakku dan bayinya. Melihat
keadaan ini, bapak yang semula keras dan seakan tak acuh mulai menaruh rasa iba
pada putrinya itu.
Hari demi hari berlalu, bapak kini
dengan penuh kasih sayang selalu mendampingi kakakku. Di kala Hani sedang sibuk
meredakan tangis Ivan, bapak tidak segan ikut membantunya. Bapak seolah ingin
menggantikan posisi Andi di sisi Hani kakakku. Kehadiran bapak yang selalu menemani
dan menyayangi membuat kakakku menjadi tenang. Dia jarang terlihat marah-marah.
Untuk soal menangis sendiri, masih sesekali kudapati kakakku yang lemah lembut
itu melakukannya. Aku menilai hal itu cukup wajar. Hani merasa sedih karena
telah ditinggalkan oleh suami yang hanya sebentar saja menemaninya mengarungi
biduk rumah tangga.
* Kisah nyata yang diceritakan oleh Rina (bukan nama sebenarnya), pegawai sebuah apotik kepada penulis.
5 Comments
Baca postingan ini malah jadi ngga sabar menemani istri saaat melahirkan, hehehehe
ReplyDeleteSemoga dilancarkan semua prosesnya pak.. Ibu dan bayinya selamat dan sehat terus..
Deleteaamiin..aamiin...
sama mas Blogger Indonesia :D,
Deletetapi sayangnya saya belum punya istri, wkwkw
Bersyukur yang mash ditemani suaminya....^_^
ReplyDeletemengharukan mbk...
sedih mak..huhu..semoga diberi kekuatan ya..jadi ingat Fira Basuki..
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung dan berkomentar. Mohon maaf, untuk menghindari SPAM, komentarnya dimoderasi dulu, yaa ^~^